0 Comment
Foto: DW (News)Foto: DW (News)

Jakarta - Krisis besar terjadi di Venezuela, ketidakpuasan masyarakat luas akan kepemimpinan Nicolas Maduro berdampak pada kerusuhan yang terjadi di negara tersebut. Terlebih lagi terjadi ketidakpastian pemerintahan sehabis pemimpin oposisi Juan Guaido memproklamirkan diri sebagai presiden interim, padahal Maduro belum diturunkan.

Ketidakpuasan yang tumbuh di Venezuela, dipicu oleh hiperinflasi, pemadaman listrik dan kekurangan kuliner dan obat-obatan, telah menjadikan krisis politik. Kerusuhan pun terjadi antara pemerintahan dengan masyarakat luas ahad kemudian dan menyentuh puncaknya ketika Guaido memproklamirkan diri sebagai presiden sementara pada Rabu (23/1/2019), sekitar 26 orang dilaporkan tewas dalam bentrokan tersebut.

Krisis yang terjadi ini juga mensugesti perekonomian masyarakat di Venezuela. Secara luas masyarakat mengeluhkan kelaparan, kurangnya perawatan medis, meningkatnya pengangguran hingga maraknya keegiatan kriminal bahkan dengan kekerasan. Lebih dari tiga juta rakyat Venezuela telah meninggalkan negaranya selama beberapa tahun terakhir alasannya yaitu hal tersebut.


Padahal, Venezuela pernah menjadi negara dengan ekonomi terkaya di Amerika Latin, kekayaan tersebut didorong oleh cadangan minyak yang mereka miliki. Tetapi semenjak mantan Presiden Hugo Chavez meninggal pada tahun 2013, dan digantikan Presiden Maduro ketika ini, kasus korupsi, salah urus pemerintahan, hingga tingkat utang yang tinggi telah menciptakan perekonomian negara itu ambruk.

Dikutip dari BBC pada Minggu (27/1/2019), imbas pertama pelemahan ekonomi negara ini yaitu tingkat inflasi yang terus meroket. Menurut sebuah studi oleh Majelis Nasional yang dikendalikan oleh pihak oposisi, tingkat inflasi tahunan negara mencapai 1.300.000% dalam 12 bulan hingga November 2018.

Pada selesai tahun kemudian saja, harga rata-rata naik dua kali lipat setiap 19 hari. Ini telah menciptakan banyak rakyat Venezuela berjuang untuk membeli barang-barang pokok menyerupai kuliner dan peralatan mandi.

Selain itu, nilai tukar mata uang mereka (bolivar) juga terus melemah. Yang awalnya untuk mendapat US$ 1 hanya membutuhkan tidak hingga 200 bolivar pada tahun 2018, sekarang butuh sekitar 1.600 bolivar untuk mempunyai satu dollar.



Rakyat Venezuela pun mengeluhkan kelaparan alasannya yaitu sulitnya mendapat makanan. Dari survei kondisi hidup tahunan negara itu yang dilakukan Encovi pada 2017, delapan dari 10 orang menyampaikan measyarakat Venezuela makan lebih sedikit alasannya yaitu mereka tidak mempunyai cukup kuliner di rumah. Lalu, enam dari 10 menyampaikan bahwa mereka pergi tidur dengan lapar alasannya yaitu mereka tidak punya uang untuk membeli makanan.

Hal ini berdampak pada kesehatan masyarakat Venezuela. Sebagian besar orang (64,3%) menyampaikan bahwa mereka telah kehilangan berat tubuh pada tahun 2017 dengan rata-rata penurunan sebesar 11,4 kg.

Karena sulitnya mendapat makanan, akhrinya rakyat Venezuela beralih ke sayuran dan materi kuliner yang dianggap sebagai "makanan orang miskin" disana. Yaitu, sayuran akar yuca (sejenis singkong), yuca dipilih alasannya yaitu kuliner ini serbaguna dan murah.

Krisi yang terjadi di Venezuela pun menciptakan akomodasi kesehatan menjadi sangat mahal dan sulit didapat. Hal tersebut dibuktikan dengan maraknya masyarkat yang terserang penyakit, salah satunya yaitu malaria yang meningkat kasusnya dalam beberapa tahun terakhir, padahal negara tetangga mereka justru berhasil menekan jumlah penyakit tersebut.

Jumlah yang meningkat ini juga kontras dengan capaian terbaik mereka yang berhasil menekan kasus malaria pada tahun 1961, bahkan menjadi negara pertama yang disebut menghilangkan penyakit malaria.

LSM Kanada, Icaso, menyampaikan bocoran laporan pemerintah menunjukkan penyebaran itu termasuk bentuk malaria yang sulit diberantas, yaitu plasmodium vivax. Observatorium Kesehatan Venezuela pun melaporkan kekurangan obat antimalaria untuk semua jenis.

Jose Felix Oletta, seorang andal penyakit menular yang juga mantan menteri kesehatan, menyampaikan proyeksi untuk 2018 menunjukkan peningkatan hingga 50% dalam jumlah kasus pada 2017.

"Dengan kecepatan ini, akan ada lebih dari satu juta kasus dalam satu tahun. Ini yaitu angka-angka yang dimiliki Venezuela pada awal periode ke-20. Malaria di luar kendali di Venezuela," ungkap Oletta.

Post a Comment

 
Top