Jakarta - Latte factor yaitu pengeluaran untuk hal yang sesungguhnya tidak perlu, yang terlihat kecil dan tanpa sadar dilakukan terus menerus, sampai kesannya menciptakan pengeluaran membengkak.
Belakangan ini istilah latte factor, alasannya yaitu terkait dengan manajemen keuangan, mulai sering terdengar. Pencetusnya yaitu David Bach, seorang motivator, public figure sekaligus pengusaha yang sukses dengan bukunya yang bertajuk Finish Rich.
Bach menyebut bahwa latte factor merujuk pada kebiasaan orang-orang yang menghabiskan penghasilan mereka justru dari hal-hal kecil yang dilakukan setiap hari. Istilah latte dipilih alasannya yaitu merujuk pada hobi banyak orang mengonsumsi kopi setiap hari, apalagi di kota besar.
Masalahnya, masih sering kita mendengar banyaknya dongeng yang tidak menyadari bahwa pengeluaran-pengeluaran kecil tadi sesungguhnya tidak memperlihatkan banyak manfaat besar dalam kehidupan kita.
Namun tentu saja, pengeluaran yang besar juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Pengeluaran untuk hal besar juga turut andil untuk menguras tabungan dan penghasilan. Tapi setidaknya, kalau dimulai dari hal-hal yang kecil, kebiasaan menabung akan menjadi lebih baik. Kondisi keuangan pun dapat lebih stabil.
Latte factor tak hanya berwujud kopi, ia dapat macam-macam wujudnya, mulai dari biaya membeli air mineral kemasan, belanja cemilan, makan di restoran, sampai pakaian baru. Setiap orang mempunyai latte factor-nya masing-masing.
Survei internal yang dilakukan salah satu forum perbankan di Indonesia tahun 2017 memperlihatkan bahwa 9 dari 10 orang menggelontorkan lebih dari Rp 900 ribu untuk latte factor setiap bulannya.
Pengeluaran latte factor terbesar yaitu pada kebutuhan sandang yang sekunder, ibarat lipstik, sepatu dan baju, hanya untuk menambah koleksi, tas, syal, aksesori, dan lainnya. Angkanya mencapai 58%.
Pengeluaran terbesar kedua tercatat pada taksi atau transportasi online yang mencapai 15%. Ini yaitu jenis pengeluaran yang dapat dihemat kalau memakai kendaraan umum massa ibarat kereta atau bus.
Lalu ada biaya membeli makanan dan minuman ringan yang mencapai 11%. Sementara untuk kopi setiap pagi menghabiskan 9% dari total pengeluaran latte factor masing-masing responden. Ada pula biaya untuk membeli air mineral, rokok, sampai biaya manajemen bank.
Contoh latte factor antara lain, dikala seseorang membeli kopi di kedai kopi erat kantor, maka secara tidak sadar ia akan selalu mampir ke kedai tersebut tanpa berpikir panjang lagi. Atau dikala teman-teman sebayanya mengajak untuk nongkrong di kafe, maka ia akan mengikuti demi menjaga pertemanan.
Padahal masyarakat Indonesia untuk menyisihkan uang dari penghasilan masih sangat rendah. Survei bertajuk 'Share of Wallet' oleh Kadence International Indonesia memperlihatkan masyarakat di Indonesia hanya menyisihkan rata-rata 8% dari penghasilannya untuk tabungan.
Sebenarnya bila pengeluaran untuk latte factor ini dapat dikontrol dan diminimalkan, tentu ada potensi dana yang dapat ditabung, disedekahkan atau bahkan diinvestasikan. Bagaimana cara kontrolnya?
Belajar di workshop Perencanaan Keuangan dan Investasi yang dilaksanakan oleh tim IARFC Indonesia atau tim AAM & Associates.
Di Jakarta dibuka workshop sehari ihwal bagaimana cara Mengelola Gaji dan Mengatur Uang bulanan dan Belajar dan Teknik Menjadi Kaya Raya dan juga workshop sehari ihwal Reksadana. Ada juga workshop khusus ihwal Asuransi membahas Keuntungan dan Kerugian dari Unitlink yang sudah anda beli.
Karena banyak permintaan, dibuka lagi workshop Komunikasi yang memukau lawan bicara anda (menghipnotis), cocok untuk anda orang sales & marketing, untuk komunikasi ke pasangan, anak, boss, anak buah, ke siapapun, info.
Untuk ilmu yang lebih lengkap lagi, anda dapat berguru ihwal perencanaan keuangan komplit, bahkan dapat jadi konsultannya dengan akta Internasional dapat ikutan workshop Basic Financial Planning dan workshop Intermediate dan Advance Financial Planning di Pertengahan Info lainnya dapat dilihat di www.IARFCIndonesia.com (jangan lupa tanyakan DISKON paket)
Anda dapat diskusi tanya jawab dengan cara bergabung di akun telegram group kami "Seputar Keuangan" atau klik di sini.
Baca juga: Lebih Untung Mana, SBR atau Deposito? (1) |
Disclaimer: artikel ini merupakan kiriman dari kawan yang bekerja sama dengan detikcom. Redaksi detikcom tidak bertanggung jawab atas isi artikel yang dikirim oleh mitra. Tanggung jawab sepenuhnya ada di penulis artikel.
Post a Comment