0 Comment
Ilustrasi/Foto: Andhika AkbarayansyahIlustrasi/Foto: Andhika Akbarayansyah

Jakarta - Utang pemerintah menjadi hal yang paling sering dikritik oleh calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Berkali-kali mantan Panglima Kostrad tersebut mengkritisi jumlah utang pemerintah Indonesia yang ketika ini tercatat sebesar Rp 4.418,3 menurut data Kementerian Keuangan simpulan 2018.

Jika utang kerap dikritik oleh Prabowo, maka ibarat apa seharusnya perilaku pemerintah?

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyampaikan utang bekerjsama bukan hal yang haram dalam pembiayaan. Namun yang perlu menjadi fokus ialah seberapa efektif utang tersebut sanggup menunjang perekonomian suatu negara.

"Jadi yang sanggup dilakukan soal utang, utang itu dikaitkan dengan produktifitas. Utang is okay kalau beliau sanggup meningkatkan kinerja ekspor. Sekarang mengukurnya pakai rasio debt to service ratio (DSR). DSR kita masih 24-25%, salah satu yang tertinggi di negara-negara berkembang,"


Tingkat rasio utang di Indonesia yang termasuk tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya pun perlu diturunkan. Bhima bilang caranya dengan memakai utang yang ditarik untuk aktivitas yang lebih produktif.

"Ternyata utang yang diambil pemerintah kini ini habisnya lebih ke arah operasional birokrasi. Maka kebijakan pemerintah ke depannya bagaimana mengalokasikan uang dari pajak atau utang itu lebih banyak ke belanja modal sehingga belanja operasional ibarat belanja pegawai dan barang itu dipangkas," katanya.

Selain itu, pemerintah juga perlu mengurangi penarikan utang dalam bentuk valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat (AS). Terlebih pergerakan rupiah ketika ini belum stabil menyusul kondisi ekonomi global yang penuh dengan ketidakpastian.

Sepanjang 2014-2018, porsi utang terbesar Indonesia ialah dari Surat Berharga Negara (SBN). SBN tersebut terbagi dalam dua jenis, yaitu denominasi rupiah, dan denominasi valas.

Utang dalam denominasi valas mempunyai risiko yang lebih besar dibandingkan jikalau dalam rupiah, alasannya ialah fluktuasi nilai tukar sanggup mensugesti besaran utang yang harus dibayar.


Tercatat SBN dalam denominasi valas tumbuh lebih kencang yaitu sebesar 121,42% dibanding SBN dalam denominasi rupiah yang tumbuh 76,43%. Terlebih lagi, porsi SBN dalam Denominasi Valas meningkat dari yang hanya 24% pada 2014, menjadi 28% di tahun 2018.

"Rupiah ini fluktuatif alasannya ialah outlook globalnya nggak bagus. Makara bagaimana kita sanggup mengurangi ketergantungan utang terhadap mata uang dolar. Bisa menentukan instrumen dalam negeri, menerbitkan utang dalam rupiah," katanya.

Pemerintah juga perlu mengurangi model sumbangan melalui penerbitan surat berharga. Hal ini kata beliau berbeda dengan model pembiayaan melalui utang di kurun pemerintahan Presiden Soeharto.

"Porsi utang zaman Soeharto didominasi instrumen sumbangan bilateral atau multilateral ibarat ADB atau World Bank. Di kurun bu Sri Mulyani getol sekali menerbitkan surat berharga yang otomatis harus dibayar dengan bunga paling mahal se-Asia. Makara misi besarnya mengurangi porsi penerbitan utang dari surat berharga alasannya ialah bunganya terlalu mahal, lebih baik ke sumbangan bilateral yang bunganya cuma 1-2%," ungkapnya.

Post a Comment

 
Top