Jakarta - International Monetary Fund (IMF) menyarankan kepada negara-negara di dunia untuk mengurangi utang pemerintah. Hal ini dilakukan biar negara bisa menghadapi ketidakpastian global yang akan mensugesti perekonomian.
Indonesia ialah salah satu negara yang masih mengandalkan utang pemerintah untuk menambal defisit pembiayaan. Berdasarkan data APBN Kita utang pemerintah periode November 2018 tercatat Rp 4.395,97 triliun turun sekitar Rp 82,6 triliun dibandingkan bulan sebelumnya Rp 4.478,57 triliun. Pemerintah menyebut penggunaan utang ialah untuk pembangunan yang bersifat produktif.
Lalu sebagai negara berkembang, bagaimana risikonya kalau Indonesia mendengarkan saran dari IMF untuk mengurangi utang pemerintah?
Kemudian bunga pola yang naik juga berimbas pada mahalnya bunga surat utang yang harus dibayar.
Lonjakan utang juga membuat fenomena crowding out effect atau perebutan likuiditas dipasar keuangan. Uang yang seharusnya masuk ke sektor swasta, lebih tertarik masuk ke Pemerintah.
"Dengan kondisi ini sebaiknya Pemerintah melaksanakan beberapa pembiasaan yaitu mengurangi ketergantungan pada penerbitan SBN valas, dan memperdalam pasar keuangan domestik dengan terbitkan lebih banyak obligasi ritel denominasi rupiah," kata Bhima ketika dihubungi detikFinance, Selasa (22/1/2019).
Dari data APBN Kita total utang pemerintah per selesai November 2018 terdiri dari derma yang sebesar Rp 784,38 triliun dan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 3.611,59 triliun.
Pinjaman luar negeri terdiri dari bilateral Rp 314,37 triliun, multilateral Rp 419,87 triliun, komersial Rp 43,54 triliun, dan suppliers nihil.
Sedangkan sisanya terdiri dari SBN Rp 3.611,59 triliun. Di mana terdiri dari denominasi rupiah sebesar Rp 2.612,68 triliun dan denominasi valas sebesar Rp 998,90 triliun.
Post a Comment