0 Comment
Bukan Atur Industrinya, RUU Permusikan Malah Tata MusisiFoto: Noel/detikHOT

Jakarta -

Saat dibuat, RUU Permusikan dimaksudkan untuk mengatur dua hal yang dianggap belum ada di undang-undang yang belum disahkan, yakni tata kelola dan pendidikan musik. Sayangnya, ada pasal-pasal yang dianggap akan berbahaya bagi dunia musik bila RUU itu disahkan.

Menurut Wendi Putranto mewakili sejumlah pelaku yang menolak dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan (KNTL RUUP), draf RUU Permusikan yang ada dikala ini justru lebih mengatur proses kreatif dan berkesenian musisi ketimbang industrinya.

"Di rancangan undang-undang yang ini berdasarkan saya sih bukan mengatur industri musik tapi seniman. Itu yang bahaya, seharusnya yang diatur bagaimana pemerintah memfasilitasi seniman untuk berkarya," kata Wendi Putranto di temui di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan.


Wendi memberi pola contohnya pasal 5 dan 50 dimana yang diatur ialah proses pembuatan sebuah lagu. Pasal itu dikhawatirkan akan mencederai kebebasan berkarya.

Belum lagi pasal 5 dianggap serupa dengan pasal 6 di Undang-undang Perfilman dengan larangan musisi untuk membuat karya yang mendorong masyarakat melaksanakan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan NAPZA, memuat konten-konten pornografi, SARA, mendorong perlawanan hukum, merendahkan harkat martabat dan mengandung provokasi.

Tonton video: Pesan Glenn Fredly untuk Artis yang Menolak RUU Permusikan

[Gambas:Video 20detik]



Bedanya, dalam pasal 5 RUU Perfilman hanya ditambahkan larangan untuk menunjukkan dampak budaya gila dalam karya.

"Nah, yang kita sesalkan, suara pasal melarang di proses kreasi, bukan di kontennya. Kaprikornus bagaimana musiknya tidak mengandung kontroversi, kekerasan seksual, menghina agama ketika berkreasi diawal. Itu kan mengekang kan, itu berarti bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 produk aturan tertinggi yang ada di Indonesia kan itu," terangnya.

Manager Seringai sekaligus pengamat musik itu menilai, musisi bekerjsama belum butuh untuk ditata dalam perundang-undangan khusus. Sebab sejumlah aturan dan undang-undang yang sudah berlaku pun telah mengatur hal tersebut.



"Yang pertama udah ada UU Hak Cipta tahun 2014 itu sudah sangat musik. Karena inisiatornya dari UU Hak Cipta itu memang orang-orang musik. Terus ada UU Pemajuan Kebudayaan yang gres disahkan tahun 2018, ada lagi UU ITE ihwal transaksi elektronik itu juga untuk mengatur musik digital. Terus ada UU Serah Karya Cetak dan Karya Rekam, itu juga gres 2018. Dari semua UU itu bekerjsama sudah mengatur tata kelola industri musik. Kalau ada UU Permusikan lagi itu akhirnya overlap, tumpang tindih antara satu dengan yang lain," urainya.

Pihaknya justru mengharapkan penegakan aturan yang efektif dari undang-undang yang sudah ada. Apabila perlu dibentuk aturan baru, Wendi dan kawan-kawannya melihat bukan aturan sekelas undang-undang, contohnya peraturan pemeritah (PP) atau peraturan menteri (Permen).

"Di sini kita sudah ada UU, penegakan hukumnya mana, alasannya ialah penegakan aturan yang penting dari semua itu. Menurut saya lebih baik kita memakai UU yang sudah disahkan dan melaksanakan penegakan hukum. Kalau ada yang membajak, ditangkap, dipenjara, jikalau melaksanakan reproduksi musik ilegal diadilin," ujarnya.

"Yang perlu itu didorong menteri yang bersahabat dengan dunia musik untuk buat peraturan yang mengatur industri. Kaprikornus levelnya di tingkat itu, bukan Undang-undang," tambahnya.





Post a Comment

 
Top