Jakarta - Melalui Permenhub 118 Tahun 2018, pemerintah melarang aplikator memperlihatkan tarif promo murah meriah untuk taksi online. Aturan gres ini dinilai melindungi kaum lemah.
"Kita menyambut baik dan mengapresiasi adanya Permenhub 118/2018 yang diterbitkan pada 18 Desember ini alasannya yakni mengatur cukup rinci perlindugan bagi pengemudi dan penumpang. Ini terang peraturan yang melindungi kaum lemah," ujar Wakil Ketua Umum KSPSI Bidang Peningkatan Kesejahteraan Pekerja Moh Jumhur Hidayat, Jumat (28/12/2018).
Jumhur menyampaikan peraturan ini bukan saja patut diapresiasi dari segi perhubungan tetapi sekaligus perlu diapresiasi dari sisi ketenagakerjaan. Singkatnya, hal-hal yang terkait dengan ketenagakerjaan yang seharusnya menjadi concern Kemenaker telah bisa diatasi oleh Permenhub 118/2018 yang gres ini.
Dalam Permenhub ini, lanjut Jumhur, perusahaan operator taksi online tak bisa lagi membekukan akun pengemudi seenaknya. Harus ada peringatan atau pemberitahuan terlebih dahulu sebelum akun pengemudi tersebut dimatikan.
Di samping itu, para pengemudi pun mempunyai hak sanggah dan penjelasan kalau merasa ada ketidakadilan dalam prosesnya.
"Sementara itu, bagi penumpang, santunan itu menyangkut keamanan dan keselamatan, tarif yang lebih pasti, riwayat pemeliharaan kendaraan sesuai standar berlaku serta adanya akomodasi pengaduan," ungkapnya.
Menurut Jumhur usaha menggapai keadilan dalam situasi kekosongan regulasi memang tidak mudah. Hal ini terutama terkait dengan perkembangan teknologi digital yang bisa merubah secara revolusioner aneka macam model bisnis dalam banyak bidang.
"Keberadaan taksi online ini memaksa pengambil kebijakan harus berpikir out of the box alasannya yakni regulasi usang dan konvensional tidak mempu mengatur model bisnis menyerupai itu," kata Jumhur.
Dalam persepktif perhubungan misalnya, tidak dikenal adanya angkutan umum berplat hitam. Biasanya juga harus memenuhi standar keamanan dan keselamatan dengan adanya KIR secara rutin serta gejala khusus yang sanggup mengenali bahwa kendaraan tersebut yakni sebuah angkutan umum menyerupai contohnya warna, stiker dan sebagainya.
"Demikian juga dalam perspektif ketenagakerjaan, model bisnis taksi online ini berbeda dengan kekerabatan kerja konvensional di mana ada perusahaan pemberi upah dan pekerja akseptor upah. Faktanya, kekerabatan kerja pada taksi online ini disebut sebagai kemitraan," jelasnya.
Setelah berjalan sekian lama, berdasarkan Jumhur, fakta kemitraan itu bermetamorfosis eksploitasi terhadap pengemudi atau sang sopir. Mereka dipaksa mengikuti semua hukum operator perusahaan taksi online secara sepihak dan kalau tidak mengikuti dengan mudahnya dibekukan atau dimatikan jaringan online-nya sehingga sang kawan tidak bisa beroperasi untuk mencari nafkah.
"Tentunya hal ini sangat merugikan bagi kawan pengemudi, alasannya yakni mereka tidak mempunyai posisi tawar sama sekali di hadapan perusahaan," pungkasnya.
Tonton juga video 'Aturan Taksi Online Selesai Desember Tahun Ini':
Post a Comment