0 Comment
Foto: DW (News)Foto: DW (News)

Jakarta - Inggris akan keluar dari Ui Eropa resmi pada Maret 2019 nanti. Beberapa bank dan perusahaan keuangan yang berada di Inggris pun telah memindahkan beberapa asetnya ke negara-negara lain di Uni Eropa. Bahkan total aset yang dipindahkan diperkirakan sebesar US$ 1 triliun atau sekitar Rp 14.500 triliun (pada kurs Rp 14.500).

Beberapa bank telah mendirikan kantor gres di kawasan lain di Uni Eropa untuk melindungi operasi regional mereka sesudah Brexit. Perusahaan yang lain menggerakkan asetnya guna melindungi klien dari volatilitas pasar dan perubahan mendadak dalam regulasi.

Mengutip CNN, Minggu (13/1/2019) konsultan ekonomi Ernst and Young (EY), menyampaikan asumsi penyusutan tersebut mewakili sekitar 10% dari total aset sektor perbankan Inggris. Itupun masih merupakan "perkiraan konservatif" sebab beberapa bank belum mengungkapkan planning pemindahan aset mereka, EY sendiri telah melacak 222 perusahaan jasa keuangan terbesar Inggris semenjak referendum Brexit pada Juni 2016.

"Data kami hanya mencerminkan gerakan yang telah diumumkan secara publik. Kami tahu bahwa di balik layar perusahaan terus merencanakan skenario 'tidak ada kesepakatan'," kata Omar Ali, kepala layanan keuangan EY.


Inggris sendiri dijadwalkan meninggalkan Uni Eropa hanya dalam 81 hari ke depan. Tetapi Perdana Menteri Theresa May belum mendapat proteksi di dewan legislatif Inggris untuk janji perceraian yang ia lakukan dengan anggota Uni Eropa lainnya. Parlemen Inggris akan melaksanakan pemungutan bunyi wacana janji tersebut ahad depan, dan jikalau May pada jadinya gagal mendorong janji maka Ingggris berpeluang keluar dari Uni Eropa dengan skenario tanpa kesepakatan.

EY menyampaikan bahwa perusahaan yang dilacaknya telah memindahkan asetnya ke beberapa negara bahkan membuat sekitar 2.000 pekerjaan gres di negara-negara tersebut sebagai jawaban terhadap Brexit. Tercatat, Deutsche Bank (DB), Goldman Sachs (GS) dan Citi (C) telah memindahkan sebagian bisnis mereka dari Inggris. Daerah Dublin, Luksemburg, Frankfurt dan Paris menjadi tujuan paling terkenal perusahaan-perusahaan tersebut.

"Semakin erat kita pada 29 Maret tanpa kesepakatan. Semakin banyak aset yang ditransfer dan jumlah karyawan dipekerjakan secara lokal atau dipindahkan," tambah Ali.


Padahal, London sendiri telah menjadi ibu kota keuangan Eropa yang tak terbantahkan selama beberapa dekade. Tempat itu merupakan rumah bagi markas internasional dari puluhan bank global. Disana industri jasa keuangan mempekerjakan 2,2 juta orang di seluruh negeri, dan menunjukkan bantuan 12,5% dari PDB alias menghasilkan US$ 100 miliar atau sekitar Rp 1.450 triliun dalam pendapatan pajak setiap tahun, berdasarkan City of London Corporation.

Bukan hanya kelesuan yang terjadi di sektor industri keuangan saja, ekonomi Inggris secara luas pun menderita sebab Brexit. Inflasi melonjak dan iman konsumen pun turun, merugikan sektor ritel negara itu. Investasi bisnis juga telah turun secara dramatis, dikala banyak perusahaan menunda planning investasinya sebab ketidakpastian.

Pabrikan besar, termasuk Airbus, telah memperingatkan mereka mungkin harus keluar dari Inggris jikalau ada Brexit yang tidak mempunyai kesepakatan. Bahkan grup teknik Jerman Schaeffler menutup dua pabrik di Inggris sebab ketidakpastian. Masyarakat Produsen dan Pedagang Motor Inggris juga menyampaikan registrasi kendaraan beroda empat gres di negara itu turun 6,8% pada tahun 2018, yang merupakan tahun kedua penurunan berturut-turut..(/zlf)

Post a Comment

 
Top