0 Comment
Metromini Hidup Segan Mati Tak Mau Foto: Pradita UtamaMetromini Hidup Segan Mati Tak Mau Foto: Pradita Utama

Jakarta - "Bulus!!! Bulus!!! Bulus!!! Ayo pak Bulus pak Bulus!"

Suara Jali, seorang pengemudi Metromini trayek 72 Lebak Bulus-Blok M berteriak kepada calon penumpang di Terminal Blok M pada Selasa siang, 29 Januari 2019. Dengan awas Jali memperhatikan sekitarnya, setiap orang lewat tidak luput beliau tawarkan naik Metro Mini dari balik kemudinya.

Siang itu, Jali memarkir Metromininya di depan Terminal Blok M. Dengan sebatang rokok yang terjepit di jarinya dan segelas kopi susu di dashboard kemudinya, beliau berteriak menunjukkan setiap orang yang lewat akrab busnya untuk menjadi penumpangnya.

Dengan awas Jali memperhatikan sekitarnya, setiap orang lewat tidak luput beliau tawarkan naik Metro Mini dari balik kemudinya. Kini beliau tak mau memakai kondektur. Lebih baik berteriak dan memungut ongkos penumpang sendiri, ketimbang penerimaannya yang makin mengecil berkurang untuk membagi hasil dengan kondektur.

Dulu zaman Metromini berjaya di Jakarta, tak butuh menarik uratpun bus Jali akan penuh dalam sekejap, dari pelajar, pegawai, bahkan pedagang asongan hingga copet pun ikut serta. Tapi siang itu, meskipun sudah bermodal kesabaran dan perjuangan menarik pita suaranya, Jali cuma sanggup 3 penumpang di Terminal Blok M.

"Maju woi jalan, jalan! Gantian gantian!" tegur supir Kopaja yang ingin bergantian 'ngetem' di belakang Metromini Jali sambil membunyikan klaksonnya.




Dahulu pemandangan di dalam Metromini erat dengan kesan penuh sesak, penumpang bukan lagi duduk namun juga berdiri, belum lagi pengap dan panasnya. Tak jarang penumpang pun bertukar keringat dan menyebarkan "aroma" yang bermacam-macam di dalam sana.

Namun kini, Metromini rupanya hanya kosong melompong, mau tidur-tiduran dibangku pun siapa mau larang. Mungkin dahulu penumpang berpegang teguh dengan pepatah 'siapa cepat beliau dapat, angkat pantat hilang tempat' , tapi kini bangku-bangku yang dulu mau diduduki sangat susah sanggup bebas diduduki siapapun kapanpun, tak perlu lagi saling berebut saking sepinya.

"Iya iya iya! Mau jalan nih gue! Sialan gres sanggup tiga lagi yaelah udah disodok aja!" keluh Jali sambil menyalakan mesin Metro Mininya dan mulai memacu busnya menelusuri trayek Blok M hingga Lebak Bulus.

Di tengah jalan pun tak habis-habisnya Jali mengeluh, apalagi setiap busnya didahului Transjakarta. Dia benar-benar kesal semenjak Transjakarta mulai melebarkan sayap-sayap trayeknya yang juga melewati jalur trayek Metromini. Apalagi sesudah Transjakarta membangun shelter bus di Terminal Blok M, jika kata Jali mereka telah mencuri 'sewa' alias penumpang dari Metromininya.

"Waduh sewa gue, colong aja terus, colong sewa gue aja nih Transjakarta. Penuh lagi tuh, sewa kita semua itu aduh!" kata Efrizal sambil sesekali memukul-mukul kemudinya.

Belum lagi kemunculan angkutan-angkutan online yang berdasarkan Jali ikut 'nyolong' penumpangnya. Kalau berdasarkan Jali, angkutan online ini paling banyak mencuri penumpang yang keluar dari mal-mal, dan sentra perbelanjaan. Padahal, trayek Metromininya Jali, melewati banyak mal dan sentra perbelanjaan, akhirnya bila dahulu beliau niscaya berhenti di depan mal, kini justru beliau memacu kebut Metromininya tanpa berhenti.




Setiap harinya, Jali harus menyetorkan hasil 'narik' kepada bosnya sebesar Rp 350 ribu, setoran itu saja merupakan penurunan setoran yang awalnya mencapai Rp 600 ribuan. Jali juga harus memotong kembali pemasukannya untuk keperluan materi bakar busnya senilai Rp 200 ribu. Lalu untuk perharinya sendiri kisaran pendapatan kotor Jali hanya menyentuh kisaran Rp 750 ribu-Rp 850 ribu, otomatis tidak banyak hasil 'narik' yang ia bawa pulang.

"Ya nggak banyak jika kini mah, nembus Rp 500 ribu buat dibawa pulang aja udah jarang banget sekarang, paling Rp 200-300 ribu. Ini aja udah se-rit (bolak-balik) gocap aja belum dapat," cerita Jali sambil menghitung uangnya.

Meskipun sudah berkurang jumlahnya, seringkali uang setoran Jali kurang. Setiap kali setorannya kurang, Jali harus mempersiapkan telinganya untuk mendengarkan 'nyanyian merdu' bosnya. Sudah biasa Jali mendengarkan hal tersebut, "masuk kuping kiri, keluar kuping kanan saja lah," katanya.

Kini, Jali gundah hendak ke mana lagi beliau mencari uang apabila benar-benar Metromini terjun ke jurang ketiadaan. Mengingat dirinya pun hanya pernah mengenyam pendidikan hingga dingklik SMP, itupun tidak lulus. Satu-satunya keahlian yang beliau miliki hanyalah menyupir.

Pernah Jali mencoba alih profesi menjadi supir kendaraan beroda empat angkutan online, namun menurutnya tidak ada perbedaan signifikan yang ia dapatkan. Apalagi dikala itu kendaraan beroda empat yang ia gunakan, hanya pinjaman, dan tetap saja harus mengatakan setoran.

"Narik Grab pernah, tapi ya gitu pakai kendaraan beroda empat orang juga. Mesti bayar juga, belum lagi ngerinya kalo tuh kendaraan beroda empat lecet apa kenapa gitu kan, udah angus kali tuh akunnya juga, mau daftar yang motor gak punya motor," ungkap Jali.

Kini, Jali cuma berharap satu hal, beliau hanya ingin tetap mengemudikan Metromini untuk menyambung hidupnya. Metromini di matanya tidak akan pernah ada matinya, meskipun sudah ditekan kanan kiri, meskipun juga penumpangnya sudah dicuri sana sini.

Begitulah Metromini mulai pudar dari mata masyarakat, kemunculan transportasi-transportasi gres di Jakarta mulai menggeser bus oranye-biru ini. Di ujung jurang eksistensinya, kini bus legendaris ini bagaikan berada di fase 'hidup segan, mati tak mau'.

[Gambas:Video 20detik]

Post a Comment

 
Top